Malam ini, hujan masih gerimis meskipun dari siang telah banyak tumpah deras ke bumi. Seperti biasa, usai shalat isya’ dan mengaji, kubuka jendela kamarku lebar-lebar untuk menyaksikkan langit. Malam ini tak ada bintang ataupun bulan yang tampak karena awan kumulus hitam masih bertahta memenuhi langit. Tak masalah bagiku, apapun keadaan langit, bagiku ia adalah tempat yang selalu menawan untuk kupandang. Handphoneku bergetar, sejenak kulihat nama di layarnya namun segera tak kupedulikan. Nama itu telah dari sore tadi menelponku, berpuluh kali mengirim pesan kepadaku, namun tak sedikitpun aku berminat menggubrisnya. Dia pacarku, sangat setia padaku, sangat mencintaiku, sangat baik dan lembut padaku, penuh perhatian dan amat mengalah… semua sahabatku bahkan iri melihat perlakuan manis dan cintanya kepadaku. Aku menyayanginya, tapi entahlah, hatiku seketika beku kala dia menggandeng tanganku, air mataku hampir tumpah kala ia menggenggam erat tanganku. Bukan, bukan karena terharu dan bahagia, tapi justru aku merasa sangat terluka. Memang tak lebih dari memegang tanganku, namun cukuplah perlakuannya mengoyak hatiku. Sedikit perasaan sayang yang tertanam ketika kita berpacaran jarak jauh, tiba-tiba menguap tak berbekas. Dan kini aku tahu bahwa dia hendak berbicara untuk mendapatkan maafku, dari telepon yang tak berhenti bergetar, dan dari puluhan sms yang masuk, tapi… hatiku terlanjur beku, terkoyak oleh lakunya. Dan benarlah sebuah ungkapan... perasaan wanita serupa kaca, yang jika pecah, maka ia akan retak selamanya.
Kumatikan handphone, kunyalakan music Romance “Soulmate” dari diskmanku. Mataku bercucur deras oleh butiran bening serupa hujan yang bercucuran dari langit. Aku amat merindukannya… Cinta pertamaku… terngiang ingatanku akan masa kenangan indahku dulu. Masa SMA, masa dimana aku mengenalnya dan mendapatkan kisah cinta indah bersamanya. Aku mencintainya karena Allah, dimana ia adalah lelaki sholeh yang sangat menjaga lisannya, sangat menjaga perut dan dirinya dari segala yang haram, sangat tekun beribadah dan sangat bersemangat dalam belajar agama. Ia mengajariku mengaji dengan tajwid, mengajariku menjaga lisan, mengingatkan kelalaianku akan ibadah, membimbingku dan mengajariku banyak hal tentang agama dan kehidupan. Dan kini, dengan memandang langit aku semakin terisak merindukannya…
Tiba-tiba memoryku tersentak oleh kejadian tadi siang, saat seseorang itu menggandeng tanganku, menggenggam erat tanganku. Hatiku ngilu, dan terputarlah kenanganku bersama cinta pertamaku… 3 tahun bersama cinta pertamaku, tak sedikitpun ia berani menyentuh kulitku. Kala teman-teman mencibir gaya pacaran kita, ia hanya tersenyum manis dan mengangguk. Terdengar kata-katanya; “Maaf ya mik, ku nggak berani gandeng tangan sampean, aku berharap kita bisa sampai nikah, Nggak mau pegang sampean dulu saat ini, biar besok kalau kita nikah, sampean bersinar terang bak permata yang nggak pernah tersentuh tangan kotor” Ucapnya penuh ketulusan padaku.
Kini, aku hanya dapat mengenang dan merindukan sosok indahnya. 3 tahun bersamanya adalah anugerah terindah bagiku. Aku tak pernah bisa melupakannya, dan bahkan telah 3 tahun berlalu, tak satu pun sosok yang dapat menggantikannya dalam hatiku. Air mataku semakin deras, dadaku semakin sesak, kala mengingat tubuhnya yang beku, wajahnya yang pucat, bercahaya di 3 tahun lalu. Wajah dan senyum yang untuk terakhir kalinya dapat kupandang nyata. Kecelakaan yang membuatnya pulang ke negeri yang indah dengan tiba-tiba, membuat hatiku terkejut dengan berjuta sesal. Sesal itu… saat dia mengunjungiku di rumah dan memintaku untuk menjawab ucapannya padaku, namun itu tak kulakukan karena egoku. Ku tutup mataku, kuputar memoryku saat itu, ia berdiri di hadapanku, mengucap maaf dan pernyataan itu;“Mik, aku menyayangimu karena Allah, sampai kapanpun”.5 menit ia berdiri menunggu jawabanku, aku hanya diam, tertunduk dan tak menjawab karena gengsiku.
“Ketahuilah, bahwa aku tak pandai mengungkapkan perasaan. Aku pun menyayangimu karena Allah. Dan karena itulah, aku tak pernah berhenti menyayangi dan menemanimu dalam kubur dengan do’aku, sampai kapanpun” Bisikku pada dayang-dayang air hujan yang jatuh ke bumi. Harapku, dayang-dayang air itu akan membawa pesanku menelusup ke dalam tanah, mengalir jauh untuk singgah di dalam kuburnya, dan membisikkan pesanku kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar