Kamis, 21 April 2011

Pendidikan Karakter

PENDIDIKAN KARAKTER, “MENGAPA?”
Karakter atau dalam bahasa local disebut watak adalah sikap hidup yang berada di dalam diri masing-masing, yang antara satu orang dengan orang lain tidak sama. Walaupun orang-orang itu terlahir dari rahim yang sama, hidup di atap yang sama, atau bahkan makan-makanan yang sama. Karakter adalah hal yang relative baku dan sangat sulit diubah. Tetapi bukan berarti tidak dapat diubah. Karakter dapat diubah melalui kebiasaan.
Dulu bangsa kita ini dikenal luas sebagai bangsa yang ramah tamah, santun dan penuh kasih sayang. Tetapi kini, predikat itu hanyalah tinggal sejarah dan kenangan. Di berbagai tempat semakin banyak kericuhan, kekerasan dan kejahatan. Hampir dipastikan tiap harinya, kita selalu disuguhi berita-berita buruk tersebut. Jangankan masyarakat dewasa, remaja, bahkan anak-anak pun kini telah sangat terbiasa untuk ikut melakukan perilaku-perilaku buruk tersebut. Perilaku dalam bentuk ucapan, tindakan ataupun perbuatan yang jauh dari keramah tamahan bahkan etika. Karakter bangsa kita yang dulu ramah tamah pun kini bergeser dan bahkan berubah drastis karena berbagai factor terutama kebiasaan melihat dan merasakan kejahatan-kejahatan tersebut.
Di gedung yang terhormat saja (DPR), sumpah serapah, umpatan, caci maki bahkan bentrokan fisik pun tidak pernah sepi. Apalagi di tempat-tempat umum lain di Negara ini. Padahal mereka yang di berada dalam gedung terhormat itu bukanlah orang-orang yang ber-IQ rendah, bukan pula orang-orang yang berpendidikan rendah. Mengapa itu semua dapat terjadi? Siapa yang salah? Dan dari mana harus dimulai untuk memperbaiki?
    Tidak dapat dipungkiri bahwa karakter seseorang di pengaruhi oleh 2 faktor yakni factor internal dan eksternal. Faktor internal telah ada sejak lahir, sedangkan factor eksternal bersumber dari 3 jalur, yakni:
1.      Keluarga
2.      Pendidikan
3.      Pergaulan
Untuk memulihkan atau memperbaiki karakter masyarakat bangsa ini secara menyeluruh, sangat logis jika pendidikan dijadikan sebagai start untuk menjadi jembatan mengembalikan karakter bangsa yang ramah tamah. Jalur pendidikan tidak hanya tepat sebagai media pembangun peradaban bangsa, tetapi juga media yang sangat yang tepat untuk membangun karakter bangsa yang menjunjung pancasila.
Sayangnya, pendidikan di Negara ini masih belum menemukan format yang ideal untuk membangun karakter bangsa  yang pancasila. Sangat nampak bahwa orientasi pendidikan di Negara ini hanya bertumpu pada urusan IQ. Walau system evaluasi mencantumkan unsure afektif (sikap) sebagai persyaratan kenaikan kelas atau kelulusan, dalam aplikasinya semua itu hanya sebagai hiasan yang tak berfungsi. Asumsi sebagai hiasan yang tak berfungsi ini tentu saja jika diukur dengan kepribadian dan karakter dari kebanyakan peserta didik yang masih di bawah standar norma. Sistem pendidikan yang mencantumkan afektif hanyalah fatamorgana karena banyak lembaga pendidikan yang tak ambil pusing dengan masalah sikap peserta didiknya. Sehari-hari yang banyak ditangani hanyalah masalah otak ataupun IQ. Karena masalah otak atau IQ berhbungan langsung dengan Ujian Nasional sebagai piranti yang menentukan kredibilitas sekolah. Akibatnya, masalah kelakuan dan budi pekerti menjadi terabaikan.
Barangkali merasakan hasil akhir pendidikan yang demikian ini, maka sekarang mulai ramai menggagas dan bahkan sudah ada aktifitas dalam bentuk work shop, seminar atau sejenisnya yang mengetengahkan materi PENDIDIKAN BERKARAKTER. Tentu saja hasilnya tidak akan maksimal dan bahkan bisa disebut sebagai omong kosong belaka jika system keseluruhan pendidikan kita masih seperti ini.
Dalam pendidikan, IQ memang penting, tetapi bukan berarti perilaku, sikap dan budi pekerti menjadi tidak terlalu penting dan disisihkan. Layaklah IQ dan budi pekerti menjadi 2 hal yang menyatu untuk sangat dijunjung dalam pendidikan di Negara ini. Pendidikan otak dan pendidikan karakter. Sebagaimana kita dapat mengambil referensi dari praktek membangun masyarakat suatu bangsa, maka kita harus berani kembali pada sejarah perjalanan Rosulullah s.a.w. dimana dalam sabdanya:
“"Tidaklah aku diutus, kecuali memperbaiki akhlaq manusia"
Jadi, Nabi kita ini bukan ditugasi mengurus IQ, ekonomi, politik, hokum ataupun keamanan. Tetapi yang dibebankan sebagai tugas beliau hanyalah “MENGURUS AKHLAK: BUDI PEKERTI” dan hasilnya???? Hanya perlu waktu 23 tahun (13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah) maka jazirah arab yang rusak berat dan hancur akhlaknya sampai dijuluki jahiliyah, bisa selesai dengan sukses. Masyarakatnya tak hanya berakhlak, namun juga maju dengan ekonomi yang berkembang, politik kondusif, hokum adil dan keamanan terkendali. Maka berubalah julukan jazirah arab yang semula jahiliyah menjadi BALDATUN THUYYIBATUN WAROBBUN GHOFUR. Lalu… jika kita dulu terjuluki sebagai Negara yang ramah tamah, kini menjadi julukan apakah Negara kita sekarang??? Dapatkah Negara ini dapat benar-benar melaksanakan pendidikan otak sekaligus pendidikan karakter??? Kita lihat saja nanti^^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar