Senin, 11 April 2011

Cerpen

Yang Tertanam di Dasar Majene


Simfoni senja membiaskan keping-keping keredupan dalam waktu edarnya menuju kegelapan malam. Tiap detiknya seolah membawakan peluh dan kesesakan yang menyiksa dalam rongga dada. Peluh dan kesesakan itu timbul dalam senja-senja teduh di bulan Desember. Hari ini adalah senja pertama di tanggal awal bulan Desember. Rafka terpaku diatas motor  Harleynya, ia duduk berhadapan dengan hamparan sawah hijau di sisi jalan pedesaan. Kepalanya menengadah ke langit seiring tenggelamnya mentari yang kian bersembunyi di ufuk barat. Perlahan matanya terpejam menikmati hawa sejuk disekelilingnya. Ia tetap menengadah dengan kesesakan bathinnya. Beberapa lama ia terpejam dan menengadah, matanya kemudian terbuka diantara langit yang telah menghilangkan sang surya dari peraduannya. Matanya berkaca-kaca, agaknya ia berusaha tetap menengadah agar air matanya itu tak sampai jatuh mengalir.
            Langit semakin gelap dan jalanan desa pun makin remang dengan hanya lampu pijar di ujung tikungan jalan. Rafka membelalakkan matanya dan mengusap kristal bening yang ia tampung dimatanya sekian lama. Diambilnya ponsel disakunya untuk menerangi penglihatannya, tangan kanannya merogoh dompet disaku jeansnya. Dibukanya dompet itu dan ditatapnya sebuah foto yang semakin membarakan keperihannya. Sebuah fotonya dengan seseorang yang pernah menjadi bagian klasik dan artistik dalam hidupnya. Seseorang yang tak akan dapat ia lihat lagi untuk selamanya, dan bahkan tak akan ia ketahui keberadaan jenazah atau pekuburannya. Sepi, sesak, begitu berat dan perih ia rasakan sepanjang tahun yang ia lalui. Tiap detik-detik pergantian tahun, ditiap itulah kesesakan dan keperihannya semakin berat mengguncang. Memorynya seakan tak dapat menghapus kenyataan pahit yang pernah ia lalui di detik-detik itu. Detik-detik yang sebelumnya ia gambarkan sebagai detik-detik awal yang indah namun kenyataannya begitu memilukan. Bathinnya marah, bimbang dan kalut dengan kerinduan yang tak dapat ditepisnya walau hanya dengan gundukan tanah sekalipun. Gundukan tanah yang ia harapkan didalamnya tertanam jasad belahan jiwanya. Namun segalanya tetap tak mungkin untuknya. Ia tetap memprotes akan keberadaan jenazah kekasihnya yang lenyap bersama puluhan orang di awal tahun 2007. Ia ingat betul bahwa saat itu ia dan kekasihnya berencana akan merayakan detik-detik tahun baru berdua. Namun tiba-tiba rencana itu gagal karena esok paginya sang kekasih harus terbang untuk menggantikan teman pramugarinya yang sakit. Sesal begitu dalam dan marah yang tak bertepi ia rasakan. Bathinnya sering memprotes bahwa kekasihnya itu tak seharusnya terbang menggantikan teman pramugarinya dan Tuhan tak harus memanggilnya dalam keadaan seperti itu. Keadaan dimana ia benar-benar tak dapat melihatnya untuk yang terakhir kali walau dalam biru dan beku, keadaan dimana tak tersisa jasad kekasihnya untuk ditanam sebagai gundukan tanah yang dapat ia kunjungi kapanpun ia mau. Namun kerapuhan tetaplah kerapuhan yang dapat pula belajar untuk kembali bangkit. Kini hatinya telah merelakan semuanya namun tetap ia tak dapat bangun dari kerinduannya. Karena kerinduan itu, kini hidupnya ia habiskan dengan berpetualang menikmati alam yang telah melenyapkan dan menyatu dengan belahan jiwanya. Harleynya dengan setia mengantar sang juragan berkeliling Indonesia untuk mencari tempat penenang hatinya. Dari satu tempat ke tempat lain, dari satu daerah ke daerah lain. Dan kali ini ia berada di perkampungan kecil di kabupaten Gresik, Jawa Timur. Suaranya bertutur lirih dalam tatapnya yang begitu tajam pada foto di hadapannya.
            “Andai dapat kutemukan tempat pengganti makammu yang dapat menenangkan dan mengobati siksa rinduku padamu, maka sungguh itu adalah hal terindah dalam penantian cintaku”.
            Sebuah tangan tiba-tiba menepuk punggungnya.
            “Shalat mas, itu masjidnya di ujung gang depan” Sapa seorang anak muda seusianya sambil menunjuk sebuah kuba masjid yang tak jauh dari tempat ia berdiri.
            Rafka tertegun dan mengangguk gagap. Dilihatnya anak muda itu kemudian berlalu darinya dengan senyum yang begitu mengembang, jalannya tertatih dengan satu kaki kiri dan satu tongkat pengganti kaki kanannya.
            “Astaghfirullah” Tutur Rafka terkejut melihat keadaan anak muda sebayanya itu.
            Langkahnya kemudian mengikuti pemuda itu hingga halaman masjid.
            “Allahu Akbar… Allahu Akbar….” Adzan maghrib berkumandang memecah dan menggetarkan bathin Rafka.
            “Rumah Allah. Seharusnya tak kuperlukan mengelilingi dunia sekalipun jika sebelumnya aku tau bahwa tempat inilah yang akan membawa ketenangan bagiku” desisnya
            Matanya tertutup dengan perasaan mendalam menikmati kumandang adzan. Kini ia mulai menengadah lagi menahan air matanya. Namun untuk kali ini, seberapa kuatpun ia menahannya, air matanya semakin tak terbendung untuk mengalir deras diantara tengadahnya. Akhirnya ia terisak dalam tangis, penyesalan terdalam dihidupnya ia rasakan. Penyesalan akan kebodohannya melupakan Sang pemberi nikmat di hidupnya. Dalam segala pahit yang ia rasakan, ia mulai sadar bahwa ada rasa termanis dalam kepahitan itu yaitu cintanya yang tetap bertahan. Kini cinta itu tertanam dalam di dasar laut Majene, tertanam bersama segala yang tertinggal di Adam ….
            Cerita ini hanyalah fiktif  yang diadabtasi dari  peristiwa jatuhnya pesawat Adam Air di 1 Januari 2007. Segala kepahitan  dapat dibiaskan menjadi sebuah hal termanis saat kita dengan ikhlas mensyukuri hidup. Cerpen ini Ku persembahkan bagi seseorang yang telah hilang dari pandangku untuk selamanya di 1 Agustus 2008. Sepahit apapun kenyataan, setidaknya syukurku dapat melihat jasad terakhirnya dan mengobati kerinduanku dengan gundukan tanah, tempat ia tertanam tenang di perut bumi.  
  
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar